12.12.08

Pungutan di SDN Kertajaya Ditarget Rp 1,10 M

Kepala SDN Kertajaya boleh menampik kasus pungutan yang terjadi di sekolahnya. Yang pasti, rancangan anggaran pendapatan dan belanja sekolah (RAPBS) yang disusun sekolah itu menyebutkan secara rinci biaya yang akan dipungut dari wali murid. Jumlahnya cukup tinggi, yakni Rp 1,10 miliar. Angka tersebut lebih tinggi dibanding pembiayaan yang bersumber dari BOS maupun APBD Surabaya.

Dalam RAPBS itu disebutkan empat sumber pendanaan sekolah. Di antaranya, anggaran rutin Rp 854.531.750 untuk membayar gaji PNS. Sumber kedua adalah dana BOS yang mencapai Rp 277.200.000. Dana itu digunakan untuk operasional kegiatan pendidikan seperti pengadaan media pembelajaran, buku pegangan guru, dan lain-lain.

Ketiga, dana dari APBD yang mencapai Rp 382.800.000. Duit sebesar itu digunakan untuk mendanai sebagian biaya operasional sekolah. Terakhir, iuran orang tua yang dipatok Rp 1.102.522.000. Iuran sebesar itu bakal digunakan untuk mendanai berbagai kegiatan sekolah.

Di antaranya, studi banding yang rencananya menghabiskan Rp 62.400.000. Studi banding tersebut meliputi biaya sewa kendaraan, transpor, makan, akomodasi, dan suvenir kunjungan.

Program itu sangat bertentangan dengan kebijakan dinas pendidikan (Dispendik) yang melarang studi banding menggunakan bopda maupun iuran dari orang tua. Jumlah anggaran untuk studi banding itu juga jauh lebih besar dibanding kegiatan ekstrakurikuler yang hanya Rp 13,5 juta.

Pada item iuran orang tua tersebut juga ada biaya untuk seragam guru serta karyawan. Jumlahnya mencapai Rp 53,6 juta. Padahal, pengadaan seragam untuk semua pegawai pemkot telah dilakukan oleh unit lelang pengadaan (ULP). Tahun ini, ULP mengadakan 12.700 ribu setel seragam sekolah khusus guru.

Menurut Kepala ULP Nur Oemariyati, pengadaan seragam PNS hanya berupa kain seragam. Ongkos jahit dianggarkan berbeda, yakni Rp 40 ribu untuk satu setel baju. ''Jadi, keperluan seragam semua pegawai pemkot sudah kami cover. Otomatis sekolah tidak boleh mengalokasikan lagi,'' tegasnya.

Jika dicermati secara keseluruhan, penyusunan anggaran yang tecermin dalam RAPBS itu terkesan tidak masuk akal. Pertama, sumber dana dari iuran orang tua jauh lebih besar dibanding sumber dana lain. Padahal, pemkot jelas-jelas melarang keras adanya donasi lantaran semua biaya operasional sudah di-cover.

Kedua, sumber dana dari BOS hanya Rp 277.200.000. Padahal, tahun ini siswa SD mendapat BOS Rp 50 ribu. Jika dihitung secara matematis, anggaran BOS yang diperoleh SDN itu jauh lebih besar. Rinciannya, Rp 50 ribu x 1.100 (jumlah siswa SDN Kertajaya dalam RAPBS) x 12 bulan = Rp 660 juta.

Ditanya mengenai hal tersebut, Kepala SDN Kertajaya M. Nafich menyangkal keras tuduhan itu. Menurut dia, RAPBS tersebut dibuat pada awal Juli lalu, ketika kali pertama masuk sekolah. Saat itu, ujar dia, belum ada aturan macam-macam, termasuk larangan memungut dana dari orang tua.

Lebih lanjut, dia menyatakan bahwa iuran tersebut wajar mengingat banyaknya ekstrakurikuler siswanya. ''Kami ini kan beda dari sekolah lain. Di sini ada band, TPA, ensemble, dan paduan suara. Semua gurunya didatangkan dari luar,'' ungkapnya.

Saat menyosialisasikan iuran tersebut pada awal tahun ajaran, lanjut Nafich, sekolah merasa tidak memaksa orang tua siswa untuk membayar. ''Tidak seluruh orang tua disuruh membayar. Hanya yang mau dan mampu seperti anjuran Dispendik,'' tegasnya.

Tentang studi banding, dia mengungkapkan bahwa hal tersebut memang direncanakan untuk meningkatkan mutu sekolahnya. Rencananya, dirinya dan para guru berangkat ke SD Menteng untuk mempelajari belajar-mengajar di sana. ''Tapi, karena tidak boleh, ya sudah, kami batalkan. Seluruh iuran orang tua tersebut kami batalkan dan saya telah membuat RAPBS baru,'' ujarnya.

Disinggung mengenai alasan mengumpulkan wali murid untuk dimintai sumbangan, Nafich menegaskan hal tersebut tidak benar. Lagi-lagi, dia membantah pihaknya meminta sumbangan.

Menurut dia, saat itu komite sekolah memang mengumpulkan orang tua murid. Tujuannya, memaparkan program-program. Nah, karena ada aturan tidak diperbolehkan ada pungutan, program-program itu tidak bisa dijalankan.

Setelah itu, dia mengaku, dirinya memberikan surat kepada orang tua siswa bahwa beberapa program tidak bisa dijalankan karena kendala keuangan tersebut. Sekolah juga mematikan AC ruangan. ''Sekarang, sekolah mana yang bisa menggunakan AC dengan uang segitu? Nanti saya bicarakan lagi dengan guru-guru, mau dimatikan terus atau tidak,'' katanya.

Penjelasan Nafich berbeda dari keluhan sejumlah wali murid. Menurut mereka, sekolah mengadakan rapat pada awal November dan menetapkan biaya yang harus dibayar siswa tiap bulan Rp 85 ribu. Jika dikalikan 1.100 siswa x 12 bulan, hasilnya mencapai Rp 1,10 miliar. ''Itu hanya alasan kepala sekolah. Yang pasti, saat rapat, wali murid diminta sebesar itu dan minta dititipkan ke wali kelas masing-masing,'' ungkapnya.

Jika tidak bersedia, kegiatan ekstrakurikuler maupun AC akan distop. ''Kenapa yang distop bukan insentif kepala sekolahnya saja? Kok malah yang berhubungan dengan belajar-mengajar?'' ujar seorang wali murid.

Di bagian lain, Kepala Badan Pengawas Kota (Bawasko) Hadi Siswanto menjelaskan, pihaknya sedang memproses semua laporan pungutan yang masuk. ''Kami belum bisa membeberkan hasilnya karena semua sedang dalam pemeriksaan,'' ujarnya. republika.co.id


Tidak ada komentar:

Posting Komentar